Jumat, Juni 28, 2013

Produksi Acara TV HANG OUT


   (crew hangout - Komunikasi Massa FISIP UB)

Senin, Februari 11, 2013

Analisis Semiotika Lagu Kopi Dangdut







ANALISIS TEORI SEMIOTIKA DALAM LIRIK LAGU KOPI DANGDUT




I. PENDAHULUAN


Dalam kehidupan sehari hari, manusia tidak akan bisa lepas dari peran komunikasi. Menurut Stewart L Tubbs dan Sylvia Moss (Deddy Mulyana, 2001:69) komunikasi merupakan proses pembentukan makna diantara dua orang atau lebih. Komunikasi digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan, baik yang bersifat verbal ataupun non verbal. Dan salah satu prinsip komunikasi adalah sebagai proses pertukaran simbolik. Susanne K. Langer (Deddy Mulyana, 2001:83) mengungkapkan, salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. Berdasarkan kesepakatan sekelompok orang, simbol digunakan untuk menunjukan sesuatu. Simbol merupakan tanda atau ciri yang memberitahukan suatu hal kepada seseorang. Simbol memiliki sifat sembarang dan tidak terikat, tergantung ide dan fikiran yang terbentuk. Menurut pandangan Ogden dan Richards (Alex Sobur, 2004:159) simbol memiliki hubungan asosiatif dengan gagasan atau referensi serta referen atau dunia acuan.


Proses penyampaian simbol dapat dilakukan melalui berbagai level komunikasi, salah satunya di level komunikasi massa. Dalam pengertianya, komunikasi massa merupakan proses penyampaian pesan yang dikomunikasikan melalui media masa kepada sejumlah besar orang. Dalam komunikasi massa, proses menyampaikan simbol dapat dilakukan melalui musik. Musik merupakan media yang efektif untuk menyampaikan pesan. Menurut Parker (Djohan, 2003:4) musik adalah produk pikiran, elemen vibrasi atas frekuensi, bentuk, amplitudo dan durasi belum menjadi musik bagi manusia sampai semua itu ditransformasi secara neurologis dan diinterprestasikan melalui otak.


Lirik lagu yang ditulis bisa menjadi salah satu media dalam sebuah proses pertukaran simbol. Setiap lirik yang ditulis tentunya mengandung pesan atau makna tersendiri yang ingin disampaikan penulis kepada khalayak luas. Artinya lirik lagu yang dikemas bersama musik tidak lagi menjadi media hiburan semata, tetapi juga bisa digunakan sebagai media untuk menyalurkan aspirasi individu, kelompok, ataupun masyarakat luas.


Salah satu genre musik dapat digunakan sebagai alat social adalah musik dangdut. Dangdut merupakan salah satu dari genre seni musik yang berkembang di Indonesia. Bentuk musik ini berakar dari musik Melayu pada tahun 1940-an. Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang masuk pengaruh unsur-unsur musik India (terutama dari penggunaan tabla) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi). Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya. Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya yang kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.


Penyebutan nama "dangdut" merupakan onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang saja) yang khas dan didominasi oleh bunyi dang dan ndut. Nama ini sebetulnya adalah sebutan sinis dalam sebuah artikel majalah awal 1970-an bagi bentuk musik melayu yang sangat populer di kalangan masyarakat kelas pekerja saat itu.






II. SEMIOTIKA DALAM LIRIK LAGU “KOPI DANGDUT”


Teori Semiotik adalah sebuah teori mengenai lambang yang dikomunikasikan. Salah satu tokoh perintis semiotika yang terkenal adalah Charles Sanders Peirce, yang menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang yang terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan, yaitu tanda, objek, dan interpretan (Zaimar, 2008:4). Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Peirce juga mengembangkan suatu tipologi tanda yang disebut dengan trikotomi, yang akan dijadikan landasan teori dalam menganalisis lirik lagu yang menjadi judul makalah ini.


Dalam makalah ini, kami akan menganalisis lirik lagu yang terkenal di tahun 90-an yaitu lirik lagu Kopi Dangdut. Kopi Dangdut adalah sebuah lagu dangdut yang dipopulerkan oleh penyanyi Fahmi Shahab pada sekitar tahun 1991. Pada awal lagu tersebut dipopulerkan, iramanya yang memang easy listening dan liriknya yang mudah dihafal membuat lagu tersebut sangat populer. Adapun lirik lagu dari Kopi Dangdut adalah sebagai berikut.






Kala kupandang kerlip bintang nun jauh disana
Saat kudengar melodi cinta yang menggema
Terasa kembali gelora jiwa mudaku
Karna tersentuh alunan lagu semerdu kopi dangdut






Api asmara yang dahulu pernah membara
Semakin hangat bagai ciuman yang pertama
Detak jantungku seakan ikut irama
Karna terlena oleh pesona alunan kopi dangdut






Irama kopi dangdut yang ceria
Menyengat hati menjadi gairah
Membuat aku lupa akan cintaku yang telah lalu






Api asmara yang dahulu pernah membara
Semakin hangat bagai ciuman yang pertama
Detak jantungku seakan ikut irama
Karna terlena oleh pesona alunan kopi dangdut






Mengapa kamu datang lagi menggodaku
Dulu hatiku membeku
Bagaikan segumpal salju


Ku tak mau peduli
Biar hitam biar putih
Melangkah berhati hati
Asal jangan nyebur ke kali


Adapun analisis lirik lagu Kopi Dangdut diatas berdasarkan trikotomi Pierce adalah sebagai berikut:


1. Trikotomi pertama ditinjau dari sudut pandang hubungan representamen dan objek (Zaimar, 2008:5). Representamen di dalam lagu ini tentunya adalah lirik lagu itu sendiri, dan objeknya adalah masyarakat beserta segenap aktivitas dan fenomena yang ada di dalamnya.


a. Ikon merupakan hubungan yang berdasarkan pada kemiripan (Zaimar, 2008:5). Jadi, representamen memiliki kemiripan dengan objek yang diwakilinya. Ikon dibagi lagi menjadi tiga, yaitu ikon tipologis, ikon diagramatik dan ikon metafora. Dalam lirik lagu Kopi Dangdut diatas, teori yang berhubungan adalah tentang ikon metafora, yaitu sebuah ikon yang mendasari sebuah kemiripan yang sifatnya tidak total miripnya. Misalnya dalam lirik “Dulu hatiku membeku, bagaikan segumpal salju” yang menyatakan seolah-olah hatinya telah membeku seperti salju, yang dalam hal ini mirip namun tidak sepenuhnya mirip, hanya sebuah istilah yang digunakan untuk mengumpakan sesuatu.


b. Indeks adalah hubungan yang mempunyai jangkauan eksistensial, maksudnya keberadaan sesuatu tentu disebabkan oleh adanya sesuatu yang lain atau hubungan sebab akibat (Zaimar, 2008:5). Misalnya, dalam judul Kopi Dangdut itu sendiri merupakan hubungan sebab akibat, karena pada jaman populernya lagu tersebut, seseorang yang tengah menikmati secangkir kopi selalu diasosiasikan tengah mendengarkan sebuah lagu dangdut, sehingga akhirnya menjadi inspirasi bagi penulis lagu itu sendiri.


c. Simbol, merupakan hubungan antara tanda dan objek yang ditentukan oleh sebuah peraturan yang berlaku umum (Zaimar, 2008:5). Dalam lirik “Api asmara yang dahulu pernah membara” misalnya, kita tahu bahwa asmara adalah sebuah perasaan yang meluap-luap, yang seiring waktunya memiliki tahapan-tahapan tertentu, dan pada awal asmara itu sendiri ada tentunya meluap seperti api yang membara pada awalnya sebelum akhirnya padam. Istilah ini sendiri akhirnya menjadi simbol yang dimaknai secara bersama dan menjadi sebuah makna yang disepakati secara umum.






2. Trikotomi kedua adalah klasifikasi yang ditinjau dari sudut pandang hubungan representamen dengan tanda.


a. Qualisign merupakan sesuatu yang memiliki kualitas untuk menjadi tanda, ia tidak dapat berfungsi sebagai tandai sampai ia terbentuk sebagai tanda (Zaimar, 2008:5).


b. Sinsign adalah sesuatu yang sudah terbentuk dan dapat dianggap sebagai representamen, tetapi belum berfungsi sebagai tanda (Zaimar, 2008:5).


c. Legisign yaitu sesuatu yang sudah menjadi representamen dan berfungsi sebagai tanda (Zaimar, 2008:5).


Dalam lirik lagu diatas, Kopi Dangdut memiliki representamen dan tanda yang bisa digolongkan dalam Legisign, yaitu dalam lirik “melodi cinta”, “api asmara”, yang telah diketahui sebagai representamen yang telah menjadi tanda karena telah disepakati bersama dan menjadi sebuah istilah yang umum. Sedangkan kopi dangdut itu sendiri masuk dalam kualifikasi Sinsign, karena merupakan sesuatu representamen yang telah terbentuk namun belum berfungsi sebagai tanda.






3. Trikotomi ketiga, ditinjau dari tanda yang diklasifikasikan menjadi tiga tahapan yang berdasarkan pada hubungan antara interpretan dengan tanda.


a. Rheme adalah tanda yang tidak benar atau tidak salah, karena merupakan tanda pengganti. Ia merupakan tanda kemungkinan kualitatif yang menggambarkan semacam kemungkinan objek. (Noth 2006:45). Misalnya dalam lirik “menyengat hatiku” dan ”dulu hatiku membeku bagaikan segumpal salju”, yang merupakan sebuah kata yang menggantikan atau mengumpamakan sebuah perasaan yang terlalu panjang apabila dijelaskan secara harafiah.


b. Discent adalah tanda yang mempunyai eksistensi yang aktual (Zaimar, 2008:5), misalnya dalam lirik “kerlip bintang nun jauh disana”, yang menyatakan sebuah eksistensi benda langit yang terletak jauh dan terlihat berkelip jika dilihat dari bumi.


c. Argument adalah sebuah tanda hukum, yaitu sebuah hukum yang menyatakan bahwa perjalanan untuk mencapai kesimpulan cenderung menghasilkan sebuah kebenaran (Noth 2006:45). Misalnya, sekali lagi dari judul Kopi Dangdut itu sendiri, yang masih merupakan sebuah proses untuk mencari kesimpulan apakah sebenarnya maksud penulis dari judul Kopi Dangdut itu sendiri, namun saat kita menyimpulkan bahwa kopi pada tahun 90-an selalu dinikmati dengan secangkir kopi membawa kita pada sebuah kebenaran.






DAFTAR PUSTAKA






Djohan. 2003. Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.


Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya


Noth, Winfried. 2006. Semiotik. Surabaya: Airlangga University Press.


Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya







http://liriklaguindonesia.net/fahmi-shahab-kopi-dangdut.htm. Diakses pada : 22/11/2012 pukul 09.12 WIB

TERRY FLEW NEW MEDIA - PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI


I.              BIOGRAFI SINGKAT

Terry Flew
Terry Flew adalah seorang Profesor Media dan Komunikasi di Universitas Teknologi Queensland (Queensland University of Technology) di Brisbane, Australia. Selama tahun 2011, beliau adalah Kepala Media dan Komunikasi di Creative Industries Faculty, dan dari tahun 2006-2008 beliau merupakan kepala dari Studi Pascasarjana di tempat yang sama.
Dari bulan Mei 2011 sampai Februari 2012 beliau didukung oleh Jaksa Agung dari Komisi Pembentukan Hukum Australia (ALRC) menjadi kepala National Classification Scheme Review. Laporan terakhir ALRC, Klasifikasi – Regulasi Konten dan Konvergensi Media ditempatkan di parlemen Federasi Australia oleh Menteri Keadilan dalam Negeri, Jason Clare MP pada tanggal 2 Maret 2012.
Pada tahun 2012, beliau ditunjuk oleh Dewan Penelitian Australia kepada Komite Evaluasi Penelitian (REC) untuk Cluster Two: Kemanusiaan dan Seni Kreatif, di Excellence pada tahap kedua evaluasi Research for Australia.
Profesor Flew memiliki bidang yang luas dalam ketertarikannya tentang penelitian, dan merupakan pengarang dari tiga buku. Bukunya New Media: An Introduction (Oxford) merupakan salah satu buku utama tentang new media di Australia, telah terjual lebih dari 10.000 kopi selama tiga edisinya, dan edisi keempat akan selesai pada akhir tahun 2012. Understanding Global Media (Palgrave, 2007) telah diterjemahkan dalam bahasa Arab dan Polandia, dan The Creative Industries, Culture and Policy (Sage) akan diterbitkan pada tahun 2012.
Beliau memiliki cakupan yang sangat luas dalam kepentingan penelitian dan pengalaman penelitian, dan telah menjadi pengarang dari tiga buku, 11 karangan penelitian ilmiah, 33 bab buku, 60 artikel dan jurnal akademis (dan 3 yang akan segera terbit) dan telah menjadi editor dari 11 jurnal akademis dalam isu-isu tertentu.
Beliau telah memimpin Australia Research Council- proyek yang didanai dalam jurnalisme warga di Australia (dengan Layanan Broadcasting khusus, Cisco Systems Australia dan The Forum Nasional), dan pengembangan tenaga kerja kreatif di masyarakat luar pinggiran kota di Australia. Beliau juga menjadi kepala penyelidik dalam proyek melihat perkembangan industri kreatif di China, dan bekerja dengan Kids Help pada garis pengembangan alat konseling online dan sumber daya untuk anak-anak bermasalah.
Dia adalah Kepala Penyidik ​​dengan Pusat Penelitian Australian Council of Excellence untuk Industri Kreatif dan Inovasi, dan pemimpin Program Kerja dalam Pelayanan Media Baru untuk Pusat Layanan Koperasi Cerdas Penelitian di mana dia telah bekerja dengan mitra industri terkemuka termasuk Fairfax Digital. Dia juga kepala penyelidik dengan Jaringan ARC Penelitian Kebudayaan dari 2005 sampai 2009. Beliau juga merupakan Presiden dari Australia dan Selandia Baru Asosiasi Komunikasi dari 2009-2010, dan aktif dalam International Communications Association.
Dia telah memberikan saran yang expert untuk Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan, Akademi Forum Nasional, Komunikasi dan Otoritas Media Australia, Departemen Broadband, Komunikasi dan Ekonomi Digital, Pusat Hukum Komunikasi, Media, Aliansi Hiburan dan Seni, Brisbane City Council, Dana Marsden (Selandia Baru), European Science Foundation dan Yayasan Penelitian - Flanders (Fonds Wetenschappelijk Onderzoek - Vlaanderen, FWO).
Dia adalah anggota dewan The National Forum, penerbit dari e-journal urusan publik Australia, On Line Opinion.
Dia telah mengawasi sembilan tesis PhD dan lima tesis penelitian Masters sampai selesai, dan memiliki siswa yang beliau awasi dari China, Taiwan, Jerman, Malaysia, Amerika Serikat dan Singapura. Dia juga mengawasi siswa dalam proyek kolaborasi dengan mitra industri termasuk Special Broadcasting Service.
II.            KARYA
·        Flew T, Wilson JA. 2008. Journalism as social networking: The Australian Youdecide Project and the 2007 Federal election, Record of the Communications Policy and Research Forum 2008 p47-61
·        Flew T, Wilson JA, (2008) Citizen journalism and political participation: The Youdecide 2007 project and the 2007 Australian federal election, Australian Journal of Communication p17-37
·        Flew T, (2008) Cultural and creative industries, Knowledge Policy: Challenges for the 21st Century p59-69
·        Flew T, (2008) Music, cities, and cultural and creative industries policy, Sonic Synergies: Music, Technology, Community, Identity p7-16
·        Flew T, (2008) New Media: An introduction (3rd Edition) p1-304
·        Flew T, (2008) Not yet the internet election: Online media, political commentary and the 2007 Australian federal election, Media International Australia Incorporating Culture and Policy: quarterly journal of media research and resources p5-13
·        Flew T, (2007) When News Takes to the Internet, Intermedia p30-38
·        Flew T, Sternberg JS, Adams DA, (2007) Revisiting the 'Media Wars' Debate, Australian Journal of Communication p1-27
·        Flew T, (2007) Understanding Global Media p1-272
·        Flew T, (2007) Historical and Contemporary Perspectives on Media and Citizenship, Encyclopedia of Digital Government p914-918
·        Flew, Terry and Humphreys, Sal (2005) "Games: Technology, Industry, Culture" Oxford University Press, South Melbourne.

III.              PEMIKIRAN
Progresi dan kemajuan adalah faktor kunci yang disebutkan dalam salah satu bab New Media: An Introduction oleh Terry Flew ini, dan merupakan sebuah hubungan baik untuk mulai menjelaskan bagaimana media didorong untuk menjadi lebih terspesialisasikan. Hanya tindakan dari spesialisasi menciptakan lebih banyak cara untuk menarik kelompok dengan meningkatkan manipulasi, jaringan, kerapatan, kompresibilitas, dan ketidakberpihakan. Tentu saja, media baru sendiri tidak sepenting bagaimana mereka mempengaruhi masyarakat dengan cara baru. Komputerisasi, misalnya, begitu juga mendarah daging dalam hidup kita dan tidak lagi hanya tentang ‘komputer’, melainkan hidup. Bekerja dengan internet atau di komputer tidak lagi hanya bagian dari karir atau gaya hidup, namun sifat dari budaya kita.
Seperti halnya perubahan budaya, ada juga keterbatasan baru bagi kebebasan media baru yang datang dengan pergeseran ke arah digitalisasi, konvergensi dan informatisasi. Sebagai hasil dari konvergensi di media, interaktivitas, terdiri dari interkoneksi dan interoperabilitas, serta kekuatan pilihan telah menjadi penting bagi keberhasilan berbagai bentuk media baru. Namun, dalam kasus sistem satu arah komunikasi seperti televisi satelit, interaktivitas digantikan oleh ketertarikan bagi satu kelompok, atau 'narrowcasting,' sebagai sarana untuk mengkhususkan diri dalam layanan dan lebih melibatkan pengguna. Pergeseran arah digitalisasi bahkan mengubah ekonomi sosial kita dan persepsi kita tentang realitas sosial kita dari lanskap maya menjadi lebih nyata, mengintegrasikan ke dalam dan memberikan alternatif bagi masyarakat fisik kita dalam kehidupan sehari-hari. Di dunia maya, keuntungan pribadi, budaya fluiditas dan kemampuan untuk diubah dan dirancang, menciptakan kesempatan bagi pengguna yang sebelumnya tidak bagi mereka dalam konteks fisik dimana sosialisasi secara tradisional terjadi. Internet, misalnya, dapat digambarkan sebagai media reflektif, tidak hanya ekonomi kita dan struktur sosial, tetapi juga reflektif dalam simulasi keinginan, ide-ide, dan psikologi manusia. Secara keseluruhan, media baru digital berfungsi sebagai rute menuju globalisasi, informatisasi, dan penyebaran ide-ide, pesan dan makna, menghubungkan dunia ketika sementara perbatasan dan hubungan individu dalam negara-bangsa dan komunitas sosial yang nyata tengah digerogoti.
Dalam bab kedua Flew ada beberapa varietas teknologi yang dijelaskan. Teknologi dan budaya yang terkait di bawah istilah 'teknologi kebudayaan' dan titik utama dibuat bahwa media baru tidak dapat dilihat sebagai dualistik, tidak pernah didefinisikan dengan jelas sebagai baik atau buruk bagi masyarakat dan budaya, melainkan sebagai bagian yang inheren dari kedua konstruksi yang berkembang. Argumen terhadap media baru biasanya tidak didasarkan pada bukti empiris dan usulan bahwa virtual global (yaitu: internet dan televisi satelit) tidak senyata interaksi fisik dan pengalaman. Meskipun ketika merenungkan pentingnya media baru, kita harus menyadari bahwa bentuk-bentuk pengaruh komunikasi mencerminkan tidak hanya apa yang kita pikirkan, tapi bagaimana kita berpikir. Selain itu, sesuai dengan Marshall McLuhan, Flew mengakui bahwa ketahanan transportasi mengalahkan durasi di media baru, sebuah konsep yang diteruskan dari Harold Innis ke McLuhan dalam ajarannya.
Terry Flew mengambil catatan dari fakta bahwa media yang lama bertahan awalnya muncul dengan kemajuan urbanisasi dan industrialisasi yang meningkat. Sekarang media baru telah memisahkan perspektif budaya kuno, urbanitas masyarakat, menghubungkan dunia yang jauh dan membangun akal sehat budaya dan kewarganegaraan di seluruh dunia. New media adalah bentuk peristirahatan dari media asli atau 'pertama' dimana dalam hal itu tidak ditandai dengan komunikasi satu arah atau produksi yang terkonsentrasi dan konsumsi massa. Media ini diwakili oleh komunikasi dua arah dalam jaringan desentralisasi. Pergeseran dalam moda transportasi diwakili oleh pergeseran dari perspektif modern ke dalam post-modern, dan ada destabilisasi subjektivitas dan identitas individu. Kita sebagai budaya global tidak lagi berakar pada waktu kita sendiri, ruang, atau budaya, melainkan berkeliaran dengan kemampuan untuk mendapatkan informasi tanpa pernah bergerak atau mengangkut diri kita secara fisik dan nyata.

IV.              KUTIPAN KUNCI
“a trend that works against the mainstream medias portrayal of players as isolated, usually adolescent boys hidden away in darkened bedrooms, failing to engage with the social world.” (Flew, 2005:101).
Sebuah tren yang bekerja melawan penggambaran arus utama media sebagai anak laki-laki yang menjadi pemain yang terisolasi, dimana biasanya remaja tersembunyi di kamar tidur gelap, gagal untuk terlibat dengan dunia sosial.

V.                 STUDI KASUS
Andi (12) lebih memilih untuk bermain di kamarnya berteman video game di internet ketimbang ia bermain bersama teman-temannya, bersepeda mungkin atau hanya sekedar mengobrol di taman. Atau sebuah keluarga yang tengah asyik bermain ponselnya di tengah kegiatan di ruang meja makan waktu sarapan pagi, interaksi yang dilakukan cenderung sedikit karena masing-masing berfokus pada gadgetnya. Dan tak jarang di tempat-tempat tongkrongan dengan layanan wifi pengunjung hanya menatap layar laptopnya masing-masing meskipun mereka datang bergerombolan. Dari ilustrasi tersebut yang didasarkan pada pengamatan kami dalam kehidupan nyata bahwa teknologi mempengaruhi interaksi social yang ada di masyarakat. Datangnya new media sebagai pintu pesatnya teknologi di zaman ini pun mempunyai andil yang sangat besar, new media mengahdirkan dunia baru. New Media dimana memungkinkan pengguna untuk membangun hubungan dan pengalaman rasa memiliki yang melampaui batas-batas temporal dan spasial tradisional.  New Media telah menciptakan realitas virtual yang menjadi ekstensi virtual dunia. Seperti video game online yang menjamur di masyarakat. Tak hanya diminati oleh anak-anak saja namun juga orang dewasa pun ikut bermain, bahwa bukan permainan yang dimainkan yang menjadi permasalahan melainkan lebih kepada penggunaannya dalam pengaturan di ruang sosial dan publik, dimana video game yang dimainkan di ruang tamu rumah, di mana semustinya mereka bermain dengan keluarga atau teman.




DAFTAR PUSTAKA

Flew, Terry and Humphreys, Sal. 2005. "Games: Technology, Industry, Culture" Oxford University Press, South Melbourne.
http://terryflew.com/ , diakses pada tanggal 26 November 2012 pukul 19.05 WIB.
http://staff.qut.edu.au/staff/flew/ , diakses pada tanggal 26 November 2012 pukul 19.10 WIB.
http://missdk.blogdetik.com/2012/05/08/budaya-video-game-pada-anak/#.ULOsseTPQwA , diakses pada tanggal 26 November 2012 pukul 20.18 WIB.

IDE

Ide, kamu bingung dapet ide buat ini itu? buat bikin sebuah karya atau hanya sekedar untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk? Terkadang kita jrang menyadari bahwa ide itu sendiri ya, ada di dalam diri kita, bukan orang lain, benda lain bahkan pacar orang lain (-__-)> Ide juga bisa kamu dapetin mulai dari memperhatikan ujung jempol kakimu sampai kamu berkaca memperhatikan ujung ubun-ubun kepalamu. Dan pertanyaan penting adalah, "Gimana Kalo?" Coba deh awali semua yang kamu perhatikan dengan pertanyaan "Gimana Kalo?" mungkin akan banyak inspirasi dan ide pun menghampiri. Semacam berfantasi dan berimajinasi tapi bukan sekedar berimajinasi saja, ditindaklanjuti dengan pemikiran yang cemerlang, dan mikir dong gak guna kalo gak direalisasikan :) 

Sabtu, November 03, 2012

Bikin Foto Studio Sendiri : WHY NOT?


#Foto Couple with @deeanindita , bikin foto studio sendiri gak ribet kok, hanya perlu trik-trik khusus untuk mengakali setiap kesederhanaan teknis yang kita miliki, ini hanya bermodal instalasi lampu dengan komponen 1 lampu samping, lampu sorot dan lampu global dan tentunya dengan kain putih sebagai background, sebenarnya kalo mau lebih lagi bisa menggukan lampu background fungsiny agar menghilangkan bayangan pada layar background. tempatnya bisa dimana saja sebenarnya namun harus memperhatikan kebocoran cahaya lain agar hasilnya lebih bagus. Ohya jangan lupa perhatikan kekuatan cahaya lampunya kalo kita gak punya softbox maka akali saja lampu ditutup dengan kertas karkir atau kertas minyak dan sejenisnya, gunanya untuk mengurangi kekuatan cahaya lampu dan agar terlihat lebih soft cahanyanya. Untuk hasil foto yang lebih bagus lagi silahkan menggunkan software editing, banyak pilihan mulai dari adobe photoshop, Lightroom sampe photo scape.

Beberapa dapat dikreasikan lewat ide-ide kreatifmu. Jangan takut untuk terus mencoba dan terus untuk berkarya. Semoga menjadi inspirasi bagi teman-teman yang mau mencoba foto studio ala Kamera Senja. :)

Selasa, Februari 28, 2012

PERKEMBANGAN KAJIAN PENELITIAN KOMUNIKASI




Menarik jika kita mengamati fenomena-fenomena komunikasi yang muncul di masyarakat. Setiap waktunya selalu berganti, hal ini menunjukan bahwa fenomena komunikasi terus berkembang dan dinamis. Para peneliti – peneliti sosial khususnya komunikasi dapat mengkaji fenomena yang ada menurut perkembangan zaman. Penyesuaian kebutuhan penelitian pada realitas di masyarakat, dan tak jarang memunculkan teori – teori ilmu komunikasi baru yang dapat mengungkap fenomena yang ditemukan.
Ilmu komunikasi merupakan ilmu pengetahuan yang tergolong muda. Sekalipun pada sisi yang lain, sejarah perkembangan ilmu komunikasi sudah tua sejak masa Yunani dan baru dirumuskan dalam era modern sebagai ilmu baru sejak dekade PD II.
Dewasa ini penelitian-penelitian komunikasi terus menerus dilakukan. Sejumlah jurnal ilmiah dalam bidang komunikasi terbit. Sejumlah karya ilmiah telah menjadi karya klasik dalam ilmu komunikasi seperti The People Choice, The Passing of Traditional Society, Mass Media and National Development, Personal Influence, Understanding Media, The Process and Effect of Communication, Public Opinion, dan sebagainya.
Demikian pula sejumlah figurnya seperti Paul F. Lazarfeld, Wilbur Schramm, Harold Lasswell, Walter Lippmann, Bernard Berelson, Carl Hovland, Elihu Katz, Daniel Lerner, David K. Berlo, Shannon, McComb, George G. Gebner, dan sebagainya telah dikenal sebagai tokoh-tokoh dalam kajian ilmu komunikasi.
Sedangkan di Indonesia terdapat sejumlah figur penting dalam bidang Ilmu Komunikasi seperti M. Alwi Dahlan, Astrid Susanto Sunario, Andi Muis, Jalaludin Rahmat, Ashadi Siregar, Anwar Arifin, Hafid Changara, Dedy N. Hidayat, Marwah Daud Ibrahim, Onong Efendi Uchayana, dan sebagainya. Karya-karya mereka telah memberi warna bagi eksistensi kajian ilmu komunikasi di Indonesia.
Ilmu Komunikasi merupakan fenomena Amerika, bila kita lihat dari penggunaan sebutan Ilmu Komunikasi. Perhatikanlah, di Indonesia pada awalnya lebih dikenal pendidikan Publisistik. Istilah yang menandakan meneruskan tradisi Jerman. Namun sejak dekade 70-an mulai digunakan istilah Ilmu Komunikasi dimana pendidikan jurnalistik hanyalah salah satu bidang yang terutama masuk dalam kelompok komunikasi massa.
Jejak tradisi Amerika dalam kajian ilmu komunikasi di Indonesia dapat dilihat melalui figur M. Alwi Dahlan yang berkesempatan belajar langsung pada para perintis kajian Ilmu Komunikasi seperti Wilbur Schramm, Elihu Katz, Gregory Bateson, dan sebagainya. M. Alwi Dahlan, doktor komunikasi pertama Indonesia ini, pada tahun 60-an sudah lulus dan berkiprah di Indonesia. Upaya M. Alwi Dahlan mengenalkan Ilmu Komunikasi tampak baik melalui Fisip UI maupun lembaga seperti penerbitan atau riset serta kantor pemerintahan. Tentu saja juga melalui organisasi seperti ISKI, Perhumas, dan terakhir menjadi Menpen.
Kenyataannya dalam pendidikan tinggi komunikasi di Indonesia, dominasi kiblat tradisi Amerika dari kalangan administratif riset menonjol. Studi Ronny Adhikarya telah menunjukkan hal ini. Kecenderungan ini rupanya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga umumnya di Asia Tenggara, dan juga di benua lain.
Ilmu Komunikasi berawal dari dekade 40-an ketika Amerika menghadapi propaganda dalam rangka menghadapi peperangan. Beberapa prakondisi ketika itu adalah adanya ancaman Nazi dalam memperluas kekuasaannya, kebutuhan untuk mendapat dukungan rakyat dalam rangka menghadapi perang dunia kedua, dan kebutuhan mempelajari propaganda lawan seperti Jerman. Maka dalam konteks inilah kajian komunikasi dirintis. Kemudian setelah masa perang, tradisi ini kemudian dilanjutkan bagi kepentingan dunia komersial.
Sejumlah ilmuwan yang dikumpulkan pemerintah—dalam hal ini departemen pertahanan—berkumpul dalam rangka kepentingan menghadapi peperangan. Beberapa figur tersebut, yang kemudian dilembagakan Scramm menjadi ilmu komunikasi, seperti Paul F. Lasarfeld, Hovland, Lasswell, Berelson, Shannon, Scramm, dan sebagainya. Setelah PD II, kajian komunikasi yang muncul dalam konteks perhatian yang besar terhadap propaganda dilanjutkan bagi kepentingan dunia industri.
Generasi yang melahirkan Ilmu Komunikasi ini yang kelak dikenal sebagai kelompok administrative riset cenderung mengembangkan komunikasi sebagai fenomena transmisi, yakni pengiriman informasi. Tidak heran pula, kajian komunikasi dominan sebagai kajian komunikasi massa. Dalam konteks inilah kita mengenal sejumlah model komunikasi seperti Shannon, Lasswell, Scramm, SMCR dan sebagainya.
Demikian pula penelitian komunikasi identik dengan kajian tentang media. Seperti Content Analysis, Uses & Gratification, Agenda Setting, Cultivation Analysis, survey dampak media, dan sebagainya. Model penelitian ini sudah familiar dalam kajian komunikasi. Namun sekali lagi menunjukkan dominannya kajian komunikasi massa.
Dewasa ini kita memerlukan untuk memahami tentang pentingnya memperhatikan kajian komunikasi yang lebih komprehensif. Bahwa komunikasi massa hanyalah salah satu bidang kajian dalam Ilmu Komunikasi. Padahal disebutkan bahwa awal abad 20 kajian lebih banyak tentang fenomena retorika. Sementara tahun 70-an mulai muncul kajian tentang komunikasi antar personal. Bidang-bidang seperti ini kelihatan belum begitu berkembang di Indonesia.
Satu hal penting pula yang perlu dipaparkan bahwa terjadi pergeseran penting dalam pandangan mengenai komunikasi di Amerika. Yakni pada awalnya, pemahaman tentang komunikasi berangkat dari pandangan yang humanistik sebagaimana dikembangkan kelompok Chicago. Tapi dengan munculnya kelompok administrative riset di masa propaganda tahun 40-an, terjadi perubahan cara pandang terhadap makna komunikasi. Dalam konteks ini dapat dimengerti kemudian pandangan filosofis tentang komunikasi mengalami pergeseran. Walaupun kemudian, menurut Everret M. Rogers, dewasa ini model komunikasi sebagai pemaknaan (meaning) juga mulai mendapat tempat kembali. Pendekatan yang lebih interpretatif yang kembali merujuk pada Max Weber, dan semacamnya.
Untuk itu perlu pula untuk memperhatikan tentang pandangan dalam memahami makna komunikasi. James W. Carey menyebut komunikasi bisa dilihat dalam dua cara pandang. Pertama model transmisi dan kedua model meaning atau ritual. Model kedua belum banyak diungkap. Hal ini dapat dimengerti karena terjadi fenomena di mana sejak kehadiran model komunikasi model Shannon yang linier telah menjadi mainstream dalam memahami makna komunikasi. Padahal sebelumnya, akar kajian komunikasi di Amerika sangat humanistik atau dalam hal ini berada dalam model meaning. Hal inilah yang terjadi.
Satu hal yang menarik bahwa dua model komunikasi diatas tidak lepas dari perkembangan peradaban Barat. Misalkan model transmisi dapat ditarik pada perkembangan peradaban di Barat ketika muncul modernisasi. Ketika terjadi aufklarung, rasionalitas manusia berkembang. Dalam masa ini ditandai arti penting transportasi seperti penjelajahan samudera atau dalam konteks Amerika dibangunnya jalan raya atau rel kereta api yang mampu menghubungkan daerah-daerah baru. Maka dalam konteks ini terjadi pemindahan barang dan orang serta tentunya ide-ide. Sehingga pendatang, yang kemudian mendatangi daerah-daerah baru, kemudian terjadi eksplorasi dan seterusnya. Dalam konteks semacam ini model transmisi dalam komunikasi berkaitan dengan pemindahan informasi di mana kontrol komunikator menjadi penting. Dengan pandangan kritis, dapat kita katakan model transmisi telah ditandai dengan eksploitasi, penguasaan, dan semacamnya.
Berbeda dengan model meaning, yang mencoba untuk melihat komunikasi berkaitan dengan upaya untuk membangun komunitas (maintain community). Sebuah kolektifitas yang akur, hangat, dan semacamnya. Kehidupan kelompok yang hangat dan akrab. Model ini dikembangkan dalam generasi Chicago, sebuah masyarakat perkotaan yang di awal abad 20, di mana dalam keanekaragaman hendak mencoba untuk membangun dan memelihara komunitas. Maka komunikasi dikaitkan dengan upaya untuk memelihara nilai-nilai ini. Maka dalam cara pandang ini berkaitan dengan upaya untuk memelihara yang telah ada. Komunikasi berkaitan dengan upaya untuk membangun integrasi.
Menjadi penting untuk disadari bahwa dewasa ini kembali perhatian muncul terhadap pendekatan budaya (cultural studies) ini. Dengan demikian, fenomena cultural studies dalam kontek tradisi pragmatis Amerika dapat dipahami dalam konteks ini. Seorang tokohnya, James W. Carey, dalam tulisan-tulisannya mencoba membahas cultural studies dalam kaitannya dengan tradisi pragmatis dari Chicago ini.
Upaya untuk menoleh kembali pada cara pandang mengenai komunikasi sebagai fenomena pemaknaan (meaning) tampaknya ketika terjadi kejenuhan terhadap dominasi dari tradisi kajian komunikasi dari generasi administratif riset yang telah mendominasi selama beberapa dekade.

DnS-kom-12